makalah Tafsir Ahkam tentang berzina

Posted on

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia modern seperti saat ini kita sering dihadapkan dengan masalah-masalah yang kerap menodai agama dengan pergaulan yang tanpa dibatasi dengan aturan atas hukum yang mengikat kepada penganut agama. Sehingga menjadi sebuah keprihatinan bagi kita umat yang beragama Islam dengan kebiasaan orang yang tidak peduli dengan aturan yang dalam hal ini menurutnya sebagai penghalang atas apa yang ingin dilakukan atau dengan kata lain untuk menuruti keinginan hawa nafsunya.
Padahal agama sama sekali tidak melarang hambanya untuk melakukan sesuatu yang jika hal itu tidak akan merusak atau menjadi mudharat bagi yang membangkang. Betapa banyak orang-orang yang melakukan hubungan seks secara bebas terjangkit hubungan seks secara bebas terjangkit oleh penyakit yang mematikan, adakah renungan tentang semua itu, itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal.

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang diatas maka dapat penulis ambil rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Pengertian mengenai zina dan penjelasanya
2. Macam-macam dari zina
3. Bagaimana hukum bagi orang yang melakukan zina

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zina dan Beberapa Penjelasan Mengenai Hal Itu

Zina atau az-zina dalam bahasa arab merupakan kata masdar yang berarti ‘perzinaan’. Berasal dari kata zana-yazni-zina. Al-Lahyani berkata, “Zina (dibaca pendek) adalah bahasa penduduk Hijaz, sedangkan zina (dibaca panjang) adalah bahasa Bani Tamim”. Zina menurut syara’ adalah hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan tanpa melalui pernikahan. Dalam kitab Hidayat Syarh Bidayat Al-Mubtadi’, sebagaimana dikutib kembali oleh Fadhel Ilahi, disebutkan bahwa zina adalah seorang laki-laki yang menyetubuhi wanita melalui qubul (kemaluan), yang bukan miliknya (istri atau budaknya) atau berstatus menyerupai hak miliknya. Jelasnya, zina adalah hubungan badan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa melalui nikah atau Syubhat An-Nikah (menyerupai nikah).
Sebagian ulama memberikan devinisi yang lebih luas lagi, yakni segala hal yang terkait dengan hubungan seksual secara tidak sah, baik melalui qubul, dubur, maupun hubungan seks sesame jenis (homo seksual/lesbian). Ada lagi pendapat yang lebih keras bahwa zina bukan hanya menyangkut hubungan seksual selain makhram saja, melainkan segala hal yang mengarah atau menjadi sebab terjadinya hubungan seks di luar nikah.
Dampak yang ditimbulkan akibat tindakan tersebut sangat besar, bukan hanya menyangkut kredibilitas seseorang, melainkan kehidupan rumah tangga bahkan masyarakat. Dari kata lain ekses dari perbuatan zina dan perselingkuhan sangat besar, dintaranya ketidakjelasan garis keturunan, terputusnya ikatan hubungan darah, menghancurkan kehidupan rumah tangga, tersebarnya penyakit kelamin, penyebaran virus dan rusaknya tatanan social.

Dalam Islam zina dipandang sebagai perbuatan yang menjijikkan seperti firman Allah dalam Surat al-Isra ayat (32):

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Allah SWT mensifati perbuatan zina tersebut tanpa ada batasan, baik sebelum atau sesudah diturunkanya larangan. Abu Bakar Al-Jashy berkomentar, “Pada ayat ini terdapat dalil bahwa zina adalah kotor menurut akal sebelum diturunya larangan tersebut karena Allah SWT menyifatinya dengan keji tanpa membatasi setelah atau sebelum larangan ayat ini turun.”
As-Sa’di dalam tafsir Kalamil Mannan sebagaimana dikutib kembali oleh Fadhel Ilahi menjelaskan bahwa Allah telah mengategorikan zina sebagai perbuatan yang keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah disebabkan perbuatan tersebut merupakan perbuatan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, istri, keluarga dan suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan melanggar tatanan sosial lainnya.
Nalar yang sehat akan menentang zina meskipun perintah larangan tersebut belum diturunkan oleh Allah SWT. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Utsman bin Affan r.a. beliau mendengar Rasulullah saw bersabda;
“Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: lelaki yang berzina sedangkan ia telah menikah (muhsan) maka dirajam hingga mati, atau laki-laki yang membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan, atau laki-laki yang murtad setelah Islam. Maka demi Allah aku tidak pernah berzina, baik pada masa jahiliah maupun setelah Islam, aku tidak pernah membunuh dan tidak pula murtad setelah Islam.”

1. Larangan zina bersifat sekaligus
Tidak seperti larangan minum khamar, yang bersikap bertahab, larangan zina turun sekaligus. Hal ini menunjukkan betapa Islam memandang perzinaan sebagai perbuatan keji, menjijikkan, dan kharam sampai kapanpun serta memerintahkan hukuman berat kepada pelaku-pelakunya. Firman Allah dalam Q.S An-Nisa ayat 15-16 sebagai berikut:

Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka telah menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya betaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Al-Jazy mengomentari ayat diatas, “Para ulama salaf sepakat bahwa ayat tersebut mengandung ketentuan hukum zina pada masa awal Islam.” Lebih lanjut beliau melanjutkan “Ibnu Abbas berpendapat bahwa jika seorang wanita berbuat zina, ia harus ditahan didalam rumah hingga mati. Namun jika laki-laki harus dicemooh dan dilempari dengan sandal.”
At-Thabary berkata “Pada awalnya, hukuman kurungan diberlakukan bagi para janda yang berzina. Artinya, zina sejak pertamakali dilarang, langsung dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan dan pelakunya dihukum dengan hukuman tertentu. Ini berbeda dengan kemungkaran dan kemaksiatan lain yang yang diharamkan secara bertahab.”

2. Zina adalah perbuatan dosa besar
Dalam Islam zina dikategorikan kedalam dosa besar. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Ya Rasulullah, dosa apa yang besar menurut pandangan Allah? Kemudian Rasulullah saw. menjawab, “Engkau menyekutukan Allah padahal Dia menciptakanmu.” Kemudian, apa lagi?” Tanya sahabat. “Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersama-sama kamu, jawab Rasul. “Kemudian apa lagi?” Tanya sahabat lagi. “Engkau berbut zina dengan istri tetanggamu,” jawab Rasul. Lalu turunlah ayat yang membenarkan perkataan Rasulullah saw. tersebut.

Artinya: “ Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuh) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, nisacaya dia mendapat (pembalsan) dosa(nya).”
Al-Qurtubi berkomentar, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa besar setelah kufur selain mebunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan berbuat zina. Ibnu Hambal pun berpendapat, “Perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.”
Ibnu Qayyim memasukkan zina ke dalam jenis dosa bahimiyyah, yakni dosa seperti sikap rakus serta terlalu menaruh perhatian pada pemenuhan syahwat perut satau syahwat kelamin. Dan, menurut Ibnu Qayyim, jenis dosa semacam ini merupakan jenis dosa yang paling banyak dilakukan oleh manusia akibat kelemahan manusia daripada jenis dosa sab’iyyah (seperti dosa permusuhan) dan dosa mulkiyyah (dosa yang diakibatkan karena melekatkan sifat-sifat ketuhanan yang tidak layak bagi pelakunya).
Dampak dari perbuatan zina sangat besar, bukan hanya terhadap pelakunya secara pribadi, tetapi juga tatanan social. Diantara dampak perbuatan zina adalah sebagai berikut:
a. Hilangnya rasa malu
b. Hilangnya pengagungan terhadap Tuhan
c. Tuhan akan melupakanya
d. Melemahkan hati para pelakunya dls.

B. Macam-macam Zina

Zina juga mempunyai beberapa macam zina kecil yaitu:
1. Zina mata,
2. Zina telinga,
3. Zina lidah,
4. Zina tangan,
5. Zina kaki, dan
6. Zina hati.

Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw. sebagai berikut: “Telah tertulis atas anak Adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hisapnya tidak dapat tidak. Zina mata adalah melihat (dengan syahwat), zina telinga adalah mendengar (dengan syahwat), zina lidah adalah berkata (dengan syahwat), zina tangan adalah menyentuh (dengan syahwat), zina kaki adalah berjalan (kepada hal syahwat), zinanya hati adalah ingin dan berangan-angan (pemenuhan nafsu syahwat). Dan hal ini dibenarkan oleh kelaminya atau didustakanya.” (HR. Muslim)

C. Hukuman Bagi Orang yang Melakukan Zina

Hukuman bagi orang yang berbuat zina telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu mukhsan) didasarkan pada Qur’an;

Artinya: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepasa keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dn hari akhir, dn hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Sedangkan bagi orang-orng yang sudah menikah (mukhsan) hukumanya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu) hingga mati. Hukuman ini disandarakan pada hadits Nabi saw.
“Terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku! Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan bujangan yang dijilid seratus kali dan diasingkan selama seratus tahun. Dan orang yang telah kawin (nikah) yang berzina didera seratus kali dan dirajam dengan batu.’ (HR. Muslim dari “Ubadah bin Shamit)
Zina dapat dibuktikan baik dengan pengakuan maupun persaksian. Dalam hal terdapat pengakuan, menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik, bila pelakunya dewasa dan berakal yang mengakui perbuatanya itu, maka hukuman harus dijatuhkan. Abu Hanifah, Ahmad dan Syiah Imamiah berpendapat bahwa hukuman tidak dijatuhkan, kecuali pengkuan pelaku diulang-ulang sebanyak empat kali.
Pembuktian melalui saksi harus terpenuhi dengan adanya empat saksi laki-laki yang terpercaya dan para waksi menyatakan bahwa mereka menyaksikan hubungan seksual itu secara jelas. Jika seorang menuduh oranglain melakukan zina dan dia tidak bisa menghadirkan emapat saksi seperti itu, maka ia dituduh melakukan qadzaf (menuduh zina secara palsu).
Semua hukuman ini ditetapkan agar kita melindungi kehormatan wanita-wanita mukminah yang bebas dari perbuatan itu dan kita melindungi kehormatan diri insan mukmin dari mulut-mulut usil yang menuduh dengan tanpa bukti. Sehingga, tidak ada seorang pun yang berani menuduh wanita mukminah dengan tuduan keji ini dan kita dapat memelihara kehormatan, nama baik, kesucian diri wanita-wanita mukminah. Juga agar perbuatan yang keji ini tidak tersebar diantara orang-orang mukmin. Bahkan, jika perbuatan itu benar-benar disaksikan oleh orang saksi, had itu tetap tidak dapat dilakukan karena adanya syubhat ‘ketidak jelasan (karena kurang syarat)’ itu. Maka, menuduh wanita mushahanah artinya menuduhnya berbuat zina. Bagi si penuduh ini, dia berhak mendapatkan hukuman atas dosanya ini, yakni dujatuhi hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali dan diikuti dengan hilangnya kekuatan hokum persaksianya untuk selama-lamanya. Dengan demikian, ia menjadi orang yang kehilangan kehormatanya dan tidak lagi mempunyai pengaruh dalam masyarakat karena dia telah menjadi orang fasik. Dengan adanya ketentuan hukum ini, setiap orang akan berhati-hati dalam berprilaku dan menjaga diri agar tidak melanggar batasan.
Sesuatu yang menarik dalam eksekusi hukuman rajam atas pelaku zina yang mukhsan adalah apabila pembuktian didasarkan pada pengakuan sendiri. Apabila kemudian ia melarikan diri pada saat hukuman dijatuhkan, menurut mayoritas ahli hukum, ia tidak perlu dikejar.
Firman Allah SWT, dalam al-Qur’an surat an-Nuur ayat 5:

Artinya: “Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (an-Nuur: 5)
Dalam Islam perbuatan sodomi juga diamcam sangsi berat. Namun ada perbedan pendapat tentang hukumanya dikalangan ahli hukum. Malik dan Ahmad menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku sodomi adalah rajam sampai mati, baik pelakukanya muhksan maupun ghairu Mukhsan. Sementara menurut Syafi’i, hukumanya sebagai hukuman untuk zina, yaitu kalau ia mukhsan maka di hukum rajam, kalau ghairu mukhsan dihukum dera 100 kali. sedangkan bagi pelaku lesbianisme, kebanyakan ahli hokum menyatakan bahwa sipelaku tidak di hukum hadd melainkan dengan ta’zir.

Oleh pemerintah RI larangan zina ditetapkan dalam KUHP (Kitab Udang-Undang Hukum Pidana) pasal 284 yaitu:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan apabila seseorang yang melakukan zina
2. Perkosaan yaitu mengadakan hubungan seks dengan lawan jenis dengan cara memaksa atau mengancam.

sumber;
1. http://www.masbied.com/2010/11/21/makalah-tentang-zina/#more-3887
2. Anang Harris Himawan,Fiedha ‘L. Hasiem, Bukan Salah Tuhan Mengadzab, Tiga Serangkai. Jln Dr. Supomo 23 Solo 57141
3. Celin Dion, Lets Talk About Love. Tiga Serangkai. Jln. Dr. Supomo 23 Solo 57141
4. Asy-sya’rawi, Prof. Dr. M. Mutawalli. “DOsa-Dosa Besar”. Penerbit Gema Insani. Depok: jl. Ir. Juanda Depok 16418
5. Topo, Sanotoso S.H. M.H. “Mebumikan Hukum Pidana Islam”. Gema Insani Press, Jl. Kalibata II No. 84 Jakarta 12740
6. Sri Hapsari, Bimbingan dan Konseling Kelas X. PT. Grasindo. Jln Palmerah Selatan 22-28 Jakarta 10720, th 2005

Tinggalkan komentar